"Bersama Kota Inten* Kulabuhkan Harapan"
Oleh: Farhan Kurniawan
Aku termenung menatap deru ombak pantai Tanjung Priok yang berkejaran ditimpa nyanyian camar sore hari. Sinar matahari senja dari ufuk barat yang berwarna lembayung menambah temuramnya suasana hatiku. Anganku menerawang jauh menembus sekat-sekat waktu menuju masa kanak-kanakku.
Aku dilahirkan sebagai anak laki-laki ketiga dari tujuh bersaudara, di sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Madura yang gersang. Ayahku seorang wedana yang mempuyai ladang pertanian luas serta tambak garam yang digarap pada musim kemarau. Sedang ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ia begitu bersahaja sebagaimana ibu-ibu rumah tangga pedesaan Madura. Ibu terkadang membantu ayah mengawasi para pekerja di ladang atau tambak garam. Jika sedang tidak ada pekerja di ladang, ibu pergi ke pasar untuk sekedar membeli bahan-bahan kebutuhan dapur. Selebihnya ibu sibuk di rumah mengerjakan urusan rumah tangga.
Keluarga wedana merupakan keluarga terhormat, mempunyai status sosial tinggi di kalangan masyarakat pedesaan pada tahun 20-an. Jika ia turun ke desa-desa sekedar untuk melihat suasana atau mengunjungi bawahannya, maka rakyat akan senantiasa mengelu-elukannya. Sepulangnya pasti akan ada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi penuh berisi hasil bumi menurunkan muatannya di depan rumahku.
Akibat kebiasaan buruk bagi anak seusiaku ini, aku sering kena damprat ayah. Bahkan akibat begadang malam menghadiri remo, aku sering bolos sekolah. Pernah mantri sekolah mendapatiku tidak ada di kelas sewaktu jam pelajaran. Esoknya aku dimarahi habis-habisan dan distrap dibawah terik matahari yang menyengat hingga pelajaran usai.
Dari kehidupan ningrat kelas menengah ditempa oleh pergaulan masyarakat yang keras dan iklim tandus ini, aku tumbuh menjadi seorang remaja yang berwatak keras, sebagaimana watak para bangsawan Madura pada umumnya.
Ketika usiaku menginjak 18 tahun, ayah mengirimku ke Surabaya, untuk tinggal bersama kakak lelakiku yang bekerja sebagai ambtenar. Sebagaimana penduduk Jawa Timur pada umumnya, penduduk Madura menjadikan Surabaya sebagai tujuan hijrah, ketika kehidupan di kampung sudah tidak menjanjikan lagi.
“Aku masih suka tinggal di Kalianget. Tidak mungkin aku pergi jauh meninggalkan ibu dan ayah,” kataku kepada ayah suatu hari.
“Demi masa depanmu, sebaiknya engkau belajar dari kakakmu yang telah berhasil. Sebagai seorang anak wedana sudah seharusnya engkau mengikuti jejak ayahmu mengabdi kepada Pemerintah Hindia Belanda!” kata ayah berapi-api meyakinkanku di hadapan ibu dan saudaraku yang lain.
Kakak lelakiku adalah seorang pegawai negeri yang ulet, ia mengabdi sebagai anggota polisi Hindia Belanda yang berkantor di dekat gedung Internatio.
Setahun kemudian atas saran kakakku aku masuk dalam dinas KNIL. Karena kebetulan Tentara Kerajaan Hindia Belanda sedang merekrut anggota baru, akibat kondisi politik dunia yang mulai memanas. Aku ingat betul, saat itu tahun 1939. Ya, tahun 1939. Ketika Ratu Wilhelmina lewat pidato radio menyerukan mobilisasi umum di Hindia Belanda.
Mulai saat itu secara resmi aku tercatat sebagai anggota dinas Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger).
Ketika Jepang mulai memasuki Hindia Belanda aku tengah bertugas di Boyolali, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, sebagai komandan onderdistrict KNIL.
Bersambung ...
* foto : HIS Soemenep from Wikipedia/Sumenep

Leave a respond
Posting Komentar