Karaton Parsanga Riwayatmu Kini


Kilas Sejarah 
Pangeran Siding Puri dan Patih Tumenggung Kanduruan 

Di Majapahit, ada Kerajaan bawahan bernama Japan, yang memerintah adalah Ratu Ratnadewi Maskumambang salah satu putri Prabu Brawijaya. Beliau mempunyai seorang Patih bernama Tumenggung Kanduruan. Kanduruan adalah putra keempat dari Raden Patah Raja Demak Bintoro, jadi masih keponakan Ratu Japan. Kanduruan kawin dengan putri Adipati Tandaterung yang sekarang masuk wilayah Sidoarjo.

Perlu diceriterakan bahwa Prabu Brawijaya mempunyai banyak putra, yang salah satunya adalah Ratna Dewi Maskumambang menjadi Ratu di Japan, putri dari permaisuri Dewi Anarawati Murdiningrum. Sedangkan perkawinannya dengan Dewi Kyan, putri dati dari negeri China mempunyai seorang putra pernama Raden Patah. Dikala mengandung Dewi Kyan dikirim ke Palembang diberikan pada Arya Damar yang juga putra Prabu Brawijaya yang menjadi Adipati di Palembang, setelah lahir maka putranya diberi nama Raden Patah, karena dirinya dalam keadaan patah hati, disingkirkan oleh Prabu Brawijaya dari sampingnya. Kemudian Dewi Kyan dikawin oleh Arya Damar (anak tirinya) dan mempunyai seorang putra bernama Raden Tandaterung, menjadi Adipati di wilayah Sidoarjo.

Kembali lagi pada Arya Wiroboyo yang menjadi Adipati Sumenep menggantikan mertuanya yakni masih pamannya sendiri, beliau bergelar Pangeran Secodiningrat IV, yang didampingi Patih Tumenggung Tankondur saudaranya sendiri. Dan Sumenep pada masa pemerintahan tsb. Tidak membayar uang upeti kepada karajaan Majapahit, tapi dialihkan membayar pada karajaan Japan. Dikala tiba saatnya menhaturkan uang upeti ke Japan, berangkatlah Sang Pangeran dan Patih Tankodur dengan beberapa pengawal ke Japan, membawa uang upeti sebesar 800 real. Setibanya di Japan Arya Wiroboyo di terima dipaseban keraton, rupanya melihat ketampanan Wiroboyo, Sang Ratu merasa tertarik. Melihat gelagat kurang enak maka Arya Wiroboyo berunding pada Patih Tankondur, dan mereka sepakat untuk pulang pada malam itu juga. Ketika Sang Ratu mengetahui bahwa Arya Wiroboyo pulang mendadak tanpa pamit, hatinya merasa masgul, dadanya berdetak keras, hatinya bergolak karena marah. 

Maka Sang ratu memerintahkan Patih Kanduruan untuk mengejar Arya Wiroboyo dengan rombongannya, agar kembali ke Japan, dengan membawa pasukan yang cukup. Tapi rupanya Arya Wiroboyo telah sampai di keraton Sumenep, sedangkan Kanduruan baru saja mendarat di pantai persisir wilayah Sampang. Lalu Patih Kanduruan minta bantuan pada para Adipati antara lain Adipari Arisbaya (Bangkalan), Adipati Melaya (Bangkalan), Adipati Blega, Adipati Jamburingin (Proppo Pamekasan), Adipadi Lambanglor (Pagantenan Pamekasan), Pangeran Pakacangan (Bulay Pamekasan).

Arya Wiroboyo mendengar berita dari penjaga tapal batas bahwa tentara Japan membawa banyak pasukan menuju ke Sumenep, maka memerintahkan Patih Tankondur agar menyiapkan pasukan perang sebanyak mungkin. Berangkatlah iring-iringan serdadu perang lengkap sengan persenjataannya.

Sesampainya di desa Pore (masuk Kecamatan Lenteng), mereka membuat perkemahan untuk memapak pasukan musuh, yang sudah sangat dekat posisinya. Keesokan harinya terjadilah pertempuran yang sangat hebat, antara pasukan Sumenep melawan tentara Japan yang dibantu oleh bala tentara para Adipati di Madura. Pertempuran terjadi berhari-hari karena melibatkan pasukan yang sangat besar, mereka sama-sama kuatnya, Arya Woriboyo bersama Patih Tankondur maju langsung ke medan perang, sehingga banyak tentara musuh yang gugur. Karena semakin banyak pihak pasukan Japan yang mati maka Kanduruan memerintahkan agar pasukannya mundur dan mengungsi ke desa Moncek masih masuk Kecamatan Lenteng, disana dibuatlah tangsi, yang sampai sekarang menjadi kampung Bernama TANGSE.

Setelah beristirahat beberapa hari maka mulailah Kanduruan melakukan penyerangan dengan siasat pengepungan dari empat penjuru angin, dan terjadilah pertempuran yang sangat hebat. Siasat kedua agar Aryo Wiroboyo dan Patih Tankondur dikeroyok dengan para laskar terpilih, sekalipun demikian Pangeran dari Sumenep tersebut masih mampu mengatasinya hingga musuhnya banyak yang mati. Pasukan pengepung mati satu datang sepuluh demikian selanjutnya, hingga Aryo Wiroboyo kepayahan dan lambungnya kena tusuk tombak, dan usunya keluar, kemudian diambilnya usus yang terbuai ketanah dipegang tangan kiri, tangan kanan membawa pedang dikibaskan kearah musuh yang mengepung. Lama kelamaan usus tambah banyak yang keluar dan darah semakin banyak yang mengalir lalu lemas dan jatuh dari kudanya, dan meninggal dunia. Patih Tankondur juga sudah kepayahan dan terkena senjata para pengepung dan gugur seketika itu juga. Kemudian Wirosasmito dari Japan menghampiri mayat Aryo Wiroboyo menghunus pedangnya dan memenggal kepalanya lalu diberikan pada Patih Kanduruan. Dengan gugurnya Aryo Wiroboyo di desa Puri, maka dikenal dengan nama Pangeran Sido ing Puri atau Pangeran Siding Puri.

Setelah tentara Japan selesai melakukan peperangan dengan pasukan Sumenep, maka Patih Kanduruan memerintahkan para Adipati Madura yang bergabung untuk membantunya agar kembali di keraton masing-masing. Kemudian Patih Kanduruan kembali ke keraton Japan membawa kepala Arya Wiroboyo yang kemudian dihaturkan kepada Sang Ratu Ratnadewi Maskumambang. Bagaikan disambar petir disiang bolong Sang Ratu melihat kepala Wiroboyo, betapa marah Sang Ratu atas tindakan Patih Kanduruan yang salah dalam melaksanakan tugas menjemput Arya Wiroboyo, dan ternyata diperanginya kemudian dibantainya. Maka sejak itu juga Patih Kanduruan dipecat sebagai Patih Japan dan diperintah untuk menjadi pengganti Pangeran Siding Puri menjadi Adipati di Sumenep. Beliau memerintah Sumenep tahun 1509 sampai dengan 1562, bergelar Pangeran Notokusumonegoro.


KONDISI SITUS SEJARAH 
PINTU GERBANG KARATON PARSANGA KINI 2011 

berikut adalah hasil bidikan kamera saya bersama tretan "Songenep Tempo Doeloe" kebeberapa situs objek sejarah yang ada di bumi sumekar ini, salah satunya situs pintu gerbang Karaton Parsanga, Karton ini adalah milik dari Pangeran Siding Puri atau Pangeran Sumenep yang menjadi adipati pada tahun 1502-1559. Secara bentuk arsitekturalnya layaknya pintu gerbang seperti biasa, lebarnya kurang lebih 5 meter, jarah pintu gerbang dan lokasi paseban karatonnya kurang lebih 100 meter dai lokasi ini dan sekarang sudah tinggal puing-puingnya saja.

Pintu Gerbang Karaton

Ornamen Pintu Gerbang Karaton
Jika dilihat dengan Seksama, kepala kolom dari pintu ini menyerupai kepala kolom ionic, namun bentuknya tidak sempurna, bisa jadi ornemen semacam ini pada jamannya diadopsi/transformasi dari bentuk-bentuk di alam, seperti keong, bunga, dsb. Jika dilihat dengan teliti juga, seluruh bahan utama pintu gerbang ini menggunakan bata putih atau bata kapur yang memang menjadi salah satu bahan utama dalam membuat bangunan oleh masyarakat Madura dari dulu hingga sekarang. Mengingat, sebagian besar bahwa kondisi geografis pulau madura ini mengandung batu kapur.

Bukan Seonggok Batu
Sebuah batu prasasti yang menerangkan bahwa bangunan ini merupak bagian dari cagar budaya dan perlu untuk terus dilestarikan. Sayangnya saat ini pemerintah dalam hal ini instansi yang bersangkutan sedang menutup mata tentang keberadaan situs sejarah ini, padahal ini merupakan salah satu bukti kejayaan Sumenep Tempo Dulu. 
Lokasi: See on Google Map

Leave a respond

Posting Komentar