Madoerezen bond ; Semangat Nasionalisme yang terlupakan


*Memperingati 84 tahun Sumpah pemuda 28 Oktober 1928


Mendengar namanya begitu asing ditelinga kita, begitu juga dengan saya. Dan bahkan baru pertama kali saya mendengarnya. Madoerezen Bond sepertinya tidak ada dalam tinta hitam buku-buku sejarah Madura yang pernah saya baca. Lebih-lebih pada rententan perjalanan lahirnya semangat nasionalisme Negara kita pada tanggal 28 Oktober 1928, tak satupun organisasi ini ada dalam catatan panitia kongres yang dilangsungkan di Batavia. 

Madoerezen Bond, sebuah organisasi kecil yang lahir atas rasa nasionalisme yang sebelumnya telah digaung-gaungkan di tanah Jawa dan Sumatera. Semangat memerdekakan diri dari genggaman pemerintah colonial, memberikan semangat serupa bagi masyarakat pulau garam. Organisasi-organisasi besar seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU dsb berhasil membentangkan sayapnya ketanah tandus yang terkenal dengan ladang garamnya ini. Lebih-lebih Madorezen Bond ini, organisasi kecil yang semula mendapatkan banyak masalah akhirnya berkembang dengan pesatnya melahirkan oraganisasi-oragnisasi pergerakan yang mewarnai perjuangan masyarakat Indonesia khususnya di tanah Madura.

Pendirian Madoerezen Bond sendiri tidak diketahui secara pasti. Namun dibalik itu semua nama organisasi yang satu ini sudah tidak asing ditelinga masyarakat umum pada tahun 1920an dan baru disahkan secara resmi pada tahun 1923. Organisasi ini didirikan oleh Raden Mayangkusumo dan Raden Ruslan Wongsokusumo, keduanya adalah orag Madura yang tinggal di Surabaya. Ketua pertama organisasi ini adalah Raden Cokroprawiro yang kemudian digantikan oleh Raden Mayangkusumo pada bulan Mei 1921. 

Mirip dengan Visi Misi organisasi-organisasi besar yang telah hadir sebelumnya, Madoerezen Bond hadir dalam pergerakan bidang-bidang social kemasyarakatan. Seperti, Koperasi simpan pinjam, mendirikan perpustakaan dan gedung pertemuan, serta memajukan pertanian, pendidikan, industri, budaya, agama. 

Sayangnya dalam waktu yang bersamaan sebelum oragnisasi ini diresmikan, pada tahun 1921 organisasi yang dipimpin oleh Raden Mayangkusumo mengalami perpecahan, para anggota yang pesimis dengan masa depan organisasi ini lebih memilih mendirikan organisasi serupa dengan nama “Comite Madura Bekerja” yang didirikan pada bulan Oktober 1921. Para fungsionarisnya terdiri dari Ismail (ketua), Sastrodipuro (wakil ketua), R.M. Hamza (sekretaris), Kadio (bendahara), Hosen dan P. Asmoro sebagai komisaris. 

Selanjutnya semakin luasnya pengaruh politik kebangsaan pada tahun 1929 sedikit banyak telah mempengaruhi berbagai kelompok etnis di Indonesia, tak terkecuali dengan Madoerezen Bond sendiri. Bagaikan dipersimpangan jalan, organisasi ini menghadapi dilema antara perjuanagan kepentingan nasional dan kepentingan etnis. 

Mengikuti kecenderungan tersebut, orang Madura di Surabaya mendirikan Kongres Nasional Madura yang bergerak ke arah Kongres Nasional Hindia. Kaum nasionalis Madura di Surabaya kemudian bertindak lebih jauh dengan mengangkat orang Jawa sebagai ketua organisasi baru tersebut. Dari sinilah kemudian muncul polemik tentang “Madura Kecil” dan “Madura Besar.” Dalam hal ini, Madoerezen Bond mewakili “Madura Kecil.” 

Meski polemik tersebut lebih mengarah pada persoalan kepemimpinan dan ideologi, namun polemik itu tak pelak lagi telah mematahkan kesatuan gerakan orang-orang Madura. Keretakan semakin buruk karena di dalam tubuh Madorezen Bond terjadi perpecahan. Orientasi pemimpin dalam organisasi ini mulai tak sejalan. Para pemimpin yang condong pada politik, dipimpin oleh Raden Ruslan Wongsokusumo. Faksi politik dalam Madoerezen Bond itu kemudian dikenal sebagai Sarekat Madura. Perpecahan pemimpin itu pun akhirnya mempengaruhi cabang-cabang Madoerezen Bond yang ada di Madura.

Sarekat Madura mengadakan kongres pertamanya di Bangkalan pada 12-15 Februari 1926. Kebanyakan pendirinya dicurigai pemerintah, terutama pemimpin radikal yang telah dipecat dari pemerintahan. Di antara pemimpin yang dicurigai adalah Raden Sarkawi (putra seorang wedono yang tak diakui lagi sebagai anak), Raden Panji Joyodipuro (saudara seorang bekas mayor barisan yang ditahan), Raden Yudokusumo (seorang anggota Madoerezen Bond), Risky (seorang pekerja toko yang dipecat), Raden Ruslan (seorang pegawai kantor pos yang dipecat), Tahir (seorang yang terkenal jelek [mungkin seorang bromocorah]), Haji Adenan, Raden Ayu Ija (anak perempuan wedono yang tak diakui lagi sebagai anak) dan Raden Kromomenggolo. 

Tidak banyak yang hadir dalam kongres tersebut meski Sarekat Madura juga menyertakan anggota-anggotanya yang berasal dari Surabaya. Dalam empat hari pertemuan, secara berturut-turut dihadiri 22 anggota , 400 anggota , 200 anggota dan hari terakhir 20 anggota. Pada Pelaksanaan Kongres tersebut kemudian menetapkan Bangkalan sebagai pusat Sarekat Madura dan Surabaya sebagai cabang di bawah pimpinan Raden Ruslan Wongsokusumo.

Sementara itu, kecenderungan radikal Sarekat Madura semakin memperuncing ketegangan di dalam gerakan orang Madura sehingga berbagai usaha (salah satunya dilakukan oleh Raden Sosrodanukusumo) untuk mempersatukan Sarekat Madura dengan Madoerezen Bond mengalami kegagalan. Namun demikian, Madoerezen Bond tetap aktif. Misalnya, pada tahun 1929 memilih Ahmad Yudokusumo sebagai presiden Madoerezen Bond yang baru dan para fungsionaris lainnya, seperti Notosujono (sekretaris) dan Astrojoyo (bendahara). 

Pada akhir dasawarsa, organisasi orang-orang Madura terang-terangan memasuki ranah politik. Kebanyakan bergabung dengan organisasi-organisasi politik nasional. Sarekat Madura berafiliasi dengan PBI Dr. Sutomo dan membantu PBI mendirikan cabang-cabangnya di Sampang dan Pamekasan. Tetapi, beberapa cabang Sarekat Madura menarik diri dari PBI karena PBI tidak tegas dalam masalah kooperasi dan nonkooperasi dengan pemerintah. 

Beberapa kelompok revolusioner di bawah pimpinan Raden Ruslan Wongsokusumo kemudian membentuk kelompok sendiri, Persatuan Rakyat Madura. Persatuan Rakyat Madura lalu bergabung dengan PNI di mana Raden Ruslan Wongsokusumo menjadi komisaris partai. Masa berikutnya, Persatuan Rakyat Madura bergabung dengan PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Indonesia) Surabaya. Secara umum, meskipun terdapat perbedaan orientasi politik, Sarekat Madura tetap eksis. Sarekat Madura pun semakin lama semakin nasionalis. Pada suatu rapat tanggal 23 Juni 1929 yang dihadiri 150 anggota, Sarekat Madura menyatakan diri sebagai “Suara Pembebasan Indonesia.”

Dari sepenggal kisah diatas, kita dapat simpulkan bahwa tanah Madura juga mempunyai para manusia-manusia berjiwa nasionalisme yang selalu berjuang untuk kemakmuran rakyat, berjuang memberantas kebodohan, berjuang memerdekakan diri dari belenggu praktik kolonialisasi kala itu. Meskipun organisasi ini tidak sebesar organisasi lainnya di tanah Jawa, namun dari sinilah jiwa-jiwa nasionalisme ada, menularkan semangat kemerdekaan kepada kaum muda Madura hingga lahir pahlawan-pahlawan bangsa seperti Halim Perdanakusumah, R. Soenarto,  dan sebagainya. Meskipun disatu sisi sebagian golongan manusia Madura kala itu masih ada yang setia terhadap para pemerintah kolonial menjadi bawahan-bawahan pemerintah, seperti salah satunya tentara barisan, namun tidak menghalangi organisasi-organisasi ini berhenti berjuang membela kemerdekaan Indonesia.

Tuisan diatas sebagian saya sunting dari http://apakabarsejarah.blogspot.com/2012/10/gaung-nasionalisme-dari-pulau-madura.html sebagai pemilik hak cipta karya tulis tsb.


* foto dari wikipedia Indonesia

Leave a respond

Posting Komentar